Proses PHK ketika terjadi akuisisi perusahaan

Istilah akuisisi tidak dikenal dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), melainkan disebutkan dengan istilah pengambilalihan sebagaimana tertera pada Pasal 1 angka 11 UUPT, yakni akuisisi adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. Dalam hal ini, seringkali juga berujung pada adanya proses pemutusan hubungan kerja (PHK).

Selanjutnya, Pada Pasal 127 UUPT dijelaskan bahwa Direksi harus mengumumkan rancangan pengambilalihan pada surat kabar dan juga kepada karyawan. Salah satu poin dalam rancangan pengambilalihan adalah mengenai cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, karyawan dari Perseroan yang akan diambil alih, dan seringkali bahkan rencana proses pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sejalan dengan hal tersebut, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (“UUTK”) juga mengatur mengenai hak karyawan dalam proses akuisisi. Pasal 61 ayat (3) UUTK ditegaskan bahwa dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. Selain itu untuk proses PHK, Pasal 163 UUTK diatur mengenai hak kompensasi pekerja jika terjadi perubahan status perubahan kepemilikan (pengambilalihan). Dengan kata lain, Pasal 163 UUTK merupakan dasar hukum proses pemutusan hubungan kerja (PHK) ketika terjadi akuisisi dalam suatu perusahaan.

Pasal 163 ayat (1) UUTK diperuntukkan bagi karyawan yang tidak berkenan melanjutkan hubungan kerja karena adanya pengambilalihan, dan berhak mendapatkan pesangon sebesar 1 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali, dan uang penggantian hak. Sedangkan Pasal 163 ayat (2) diperuntukkan jika perusahaan tidak bersedia menerima karyawan untuk bekerja, dan berhak mendapatkan pesangon 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali, serta uang penggantian hak. Tentunya perlu ditegaskan disini, bahwa ketentuan kompensasi kompensasi tersebut diperuntukkan bagi karyawan dengan status karyawan tetap (PKWTT), karena berbeda halnya dengan karyawan kontrak (PKWT) maupun outsourcing.

Dalam prakteknya, penerapan Pasal 61 maupun Pasal 163 UUTK tidaklah mudah, karena akan ada banyak maneuver yang terjadi, terlebih jika dalam perusahaan tersebut terdapat Serikat Pekerja yang mengatasnamakan pekerja untuk memperjuangkan kepentingan pekerja.

Jika dilihat pada ketentuan Pasal 61 UUTK, tentunya sangatlah mudah jika terjadi akuisisi maka hak-hak karyawan tetap berlanjut. Namun faktanya, banyak karyawan yang mengeluh jika perusahaan diambil alih dan diatur oleh manajemen baru. Sehingga seringkali muncul tuntutan dari para karyawan untuk meminta semacam penghargaan berupa uang dari pemilik perusahaan sebelumnya, dimana tentunya hal ini tidak diatur dalam ketentuan manapun yang mewajibkan pemilik lama untuk memberikan semacam uang penghargaan kepada karyawan.

Namun hal tersebut dapat menimbulkan masalah dalam proses akuisisi atau setidaknya memperlambat jalannya akuisisi karena calon pemilik baru tidak mau mengambil resiko ketika nantinya perusahaan tersebut sudah diambil alih. Disinilah perlu adanya penyelesaian secara cermat dalam proses bipartit agar tercapai kesepakatan win-win solution.

Hal lainnya adalah sering muncul trend istilah RESET MASA KERJA dengan kompensasi pesangon, atau dengan kata lain ketika akuisisi telah selesai maka karyawan akan mulai masa kerja dari 0 (nol) tahun, yang mana pada dasarnya hal tersebut merupakan bentuk lain dari penerapan Pasal 163 ayat (2) namun dengan catatan bahwa hubungan kerja tetap berlanjut.

Cara-cara penyelesaian permasalahan ketenagakerjaan harus dibicarakan secara cermat dan teliti agar para pihak saling memahami posisi dan sudut pandang masing-masing. Teknis yang efektif digunakan biasanya dengan nuansa diskusi saling terbuka dan kekeluargaan. Dimana para pihak saling menjelaskan sudut pandang masing-masing dan lebih baik lagi jika ditengahi oleh pengacara yang bersifat netral serta objektif.

Perusahaan harus mempertimbangkan biaya ekstra untuk sedikit memberikan tambahan paket pesangon, ketimbang tetap bersikukuh pada sikap dan pendapatnya yang dapat berujung pada kerugian yang lebih besar atau gagalnya proses akuisisi. Selain itu dalam prakteknya, banyak perusahaan yang mengelompokkan karyawan dalam beberapa kelompok dan membicarakan proses akuisisi maupun penyelesaian hak pada masing-masing kelompok sehingga menimimalisir potensi konflik atau perbedaan pendapat yang sengit.

author: wilopo husodo

Advertisement

Published by Husodo and Partners

contact@husodolawfirm.com

Let's discuss...

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s