Banyak nasabah seringkali mendapat tawaran menggiurkan dari pihak bank untuk mendapatkan fasilitas pinjaman (kredit) dengan persyaratan yang mudah. Bahkan seringkali pihak marketing bank justru membantu membuatkan data-data pribadi nasabah tanpa survey guna kelancaran proses pencairan kredit. Disinilah berpotensi sering terjadi permasalahan kredit macet.
Disinilah seringkali terjadi benturan kepentingan bisnis dan hukum, karena disatu sisi pihak marketing berpikir untuk pemenuhan target pemasaran secara cepat meskipun seringkali menggampangkan proses adminstrasi yang berlaku dalam SOP internal bank.
Namun masalah baru muncul kemudian jika kredit tersebut macet, meskipun terdapat agunan yang menjamin pembayaran hutang. Masalahnya adalah, jika kemudian ditemukan beberapa fakta-fakta yang ganjil selama proses survey hingga pencairan kredit, maka hal tersebut berpotensi melanggar ketentuan perbankan.
Menurut ketentuan Pasal 49 ayat (2)b UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU Perbankan”), disebutkan secara tegas bahwa:
Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Seringkali Pasal tersebut menjadi “Pasal Karet” yang bisa menjerat petugas bank dalam tindak pidana perbankan, karena prinsip kehati-hatian merupakan basis bagi bank dalam menjalankan usahanya. Petugas bank (marketing, CS, dll) harus menjalankan prinsip kehati-hatian dalam memberikan pelayanan perbankan.
Prinsip kehati-hatian dalam pasal tersebut memiliki makna yang sangat luas, sedangkan dalam UU Perbankan tidak memuat penjelasan mengenai ketentuan tersebut. Namun seringkali pasal tersebut menjadi acuan bagi penyidik untuk menjerat petugas bank yang dianggap lalai dalam menjalankan tugas perbankan, khusunya dalam kasus kredit macet. Misalnya, sering terjadi dalam proses survey calon debitur mulai dari data pribadi sampai asset debitur yang tidak diteliti dengan cermat serta tidak mengindahkan SOP internal dengan utuh.
Salah satu contoh kasus menarik adalah yang terjadi pada kasus karyawan Bank Mega yang terjerat Pasal 49 UU Perbankan dimana kedua karyawan tersebut merupakan Account Office (marketing) yang bertugas untuk melakukan verifikasi dengan benar sesuai SOP Bank terhadap asset calon debitur sehingga menimbulkan permasalahan pada saat kredit tersebut macet.
Selain itu, penulis juga pernah melakukan pendampingan penyidikan tindak pidana perbankan dengan dugaan pelanggaran Pasal 49 ayat (2)b UU Perbankan, dimana selama pemeriksaan berlangsung oleh pihak kepolisian (penyidik) kerap menanyakan hal-hal teknis yang berkaitan dengan SOP internal Bank, seperti survey penghasilan debitur, domisili debitur, data-data asset debitur, hingga dokumen internal yang disusun oleh petugas bank.
Kerap kali tim marketing Bank merasa risih untuk meneliti dengan cermat tiap-tiap dokumen atau bahkan mensurvey secara detail debitur terkait, dengan alasan bahwa dokumen-dokumen yang ada dirasa sudah cukup untuk memenuhi persyaratan sesuai daftar checklist. Padahal, ketika kasus tersebut diperiksa oleh penyidik, maka penyidik akan menanyakan detail dari setiap tindakan petugas bank berdasarkan SOP yang berlaku di internal Bank.
Berdasarkan penjelasan salah seorang penyidik bahwa ketika anda menjalankan tugas perbankan, khususnya sebagai marketing (account officer), berhati-hatilah terhadap setiap dokumen yang anda tanda tangani. Ada satu contoh kasus yang disampaikan, bahwa ada salah satu Bank besar yang terseret kasus pidana dan melibatkan banyak petugas bank namun ada satu petugas yang lolos dari jerat pidana karena tidak ditemukan tanda tangannya dalam tiap dokumen pencairan kredit yang ternyata pada saat itu petugas bank tersebut telah memberikan saran untuk penolakan pencairan kredit namun tetap diputuskan oleh atasannya dan pimpinan.
Ditambah lagi jika Bank tersebut merupakan bank daerah (BUMD) atau BUMN yang dapat berpotensi menjurus kearah dugaan tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berhati-hatilah bagi para petugas bank, karena Bank merupakan instansi atau lembaga yang sangat jeli, rapi, dan teliti dalam mengelola dana nasabah maupun data-data nasabah. Sehingga akibat hukum atas melanggar prinsip kehati-hatian adalah berujung pidana.
author: wilopo husodo